Rabu, 13 Agustus 2008

Sukawi Bakal Masuk Bui ?


Temuan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, BPKP Jawa Tengah yang menyebutkan adanya kerugian Negara hamper Rp 5 Milyar, dalam perkara dugaan korupsi anggaran bantuan organisasi pada pos biaya komunikasi pemerintahan dari APBD Semarang 2004, semakin memojokan posisi Walikota Semarang Sukawi Sutarip, terindikasi dugaan korupsi. Rekomendasi tersebut semakin memperkuat sangkaan Sukawi dalam kasus korupsi yang kini tengah dalam penyidikan Kejaksaan Tinggi Jateng.
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah sesegera mungkin akan mengajukan surat izin ke Presiden untuk memeriksa Sukawi Sutarip. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Kadir Sitanggang, mengungkapkan, pihaknya sudah menerima hasil audit BPKP. “Sebelumnya pemeriksaan mengalami hambatan, berkaitan belum turunnya hasil audit. Kini surat izin pemeriksaan secepatnya diajukan ke Presiden.”
Hasil audit yang ditandatangani Kepala Perwakilan BPKP tersebut semakin memperkuat kasus adanya dugaan korupsi Sukawi Sutarip.
Penyidikan saksi-saksi dalam perkara walikota Semarang sudah dianggap cukup, dan tinggal menunggu izin dari Presiden saja untuk memeriksa Sukawi.
Sukawi selain akan didakwa kaitannya dengan bantuan mobilitas mantan anggota Dewan, dengan total nilai mencapai Rp 2,7 Miliar, juga akan didakwa menyangkut aliran uang ke perseorangan sekitar Rp 2,3 Miliar, berasal dari biaya komunikasi pemerintahan

Sukawi Siap Diperiksa
Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip menyatakan siap diperiksa kejaksaan terkait penyidikan kasus dugaan korupsi anggaran bantuan organisasi profesi pos biaya komunikasi pemerintahan dari APBD 2004.
Pernyataan kesiapan tersebut menyusul tuntasnya audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng. Menurut informasi yang disampaikan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jateng Uung Abdul Syakur, BPKP menemukan adanya kerugian sebesar Rp 5 miliar dalam kasus biaya komunikasi tersebut.
Rabu (6/8), di sela-sela rapat paripurna DPRD, Sukawi menegaskan, kesiapannya sewaktu-waktu diperiksa. Bila memang dibutuhkan untuk dipanggil, dia akan memenuhinya. Meski demikian dia yakin bahwa dirinya tidak salah. Prinsipnya, kata orang nomor satu di Kota Semarang tersebut, dirinya menaati saja hukum yang tengah berjalan.
Sukawi menekankan apa yang dia lakukan sudah sesuai prosedur. Karenanya dia meminta untuk melihat perkembangannya terlebih dulu. ”Saya lihat dulu permasalahannya seperti apa karena saya belum ada pemberitahuan. Panggilan juga belum ada. Kita menunggu proses hukum saja.”
Sukawi pun mengungkapkan, belum mempersiapkan apa-apa untuk menghadapi pemeriksaan itu. Tim pengacara yang bertugas mendampinginya juga belum disiapkan. ”Belum ada (pengacara). Entah nanti,” katanya.
Menurut dia, dirinya perlu melihat dulu audit BPKP tersebut sehingga dapat menentukan langkah selanjutnya. ”Ya saya akan lihat dulu.”
Kajati Jateng Kadir Sitanggang ditemui terpisah menyatakan dengan adanya kerugian negara dari audit BPKP berarti telah ada kesepahaman antara penyidik Kejati dan BPKP tentang adanya penyimpangan dalam kasus tersebut. Audit BPKP sudah dia terima Selasa (5/8). ”Tindak lanjutnya kita segera membuat izin pemeriksaan ke Presiden,” kata Kadir.
Mengenai kapan izin diajukan, Kadir menyebut akan sesegera mungkin. Apakah akan ada kemungkinan tersangka lain dalam kasus Wali Kota Semarang tersebut? Kajati menuturkan, ”Sementara tersangkanya ya yang sudah diumumkan itu.”
Dia juga mengatakan, ”Dalam undang-undang yang patut menjadi tersangka hanya yang melakukan tindak pidana, bukan mereka yang menerima atau menikmati. Menerima uang kan belum tentu melakukan tindak pidana. Unsur pidananya harus diperiksa dulu.” (H22,H30-46_SM_TY_gus)




Senin, 04 Agustus 2008

Pejabat Berijazah Palsu


Pejabat Berijazah Palsu
(Menyoal Kembali Keabsahan Ijazah Bupati Brebes dan Wabub Semarang)

Seseorang yang mempunyai ijazah palsu kalau tidak digunakan tentulah tidak akan ketahuan masalah kepalsuannya. Persoalan baru muncul manakala ijazah itu digunakan atau dipakai, misalnya untuk melamar suatu pekerjaan atau menduduki suatu jabatan publik. Ijazah yang tidak digunakan, hanya disimpan saja di dalam almari misalnya, perbuatan itu tetap saja merupakan perbuatan pidana (kejahatan), akan tetapi sulit dijangkau oleh hukum negara (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP). Satu-satunya hukum yang dapat menjangkau hanyalah hukum agama.

Alangkah naifnya, bilamana ada seseorang yang memalsukan ijazah hanya untuk disimpan sebagai koleksi. jika hal ini terjadi, maka perlu dipertanyakan keadaan psikis dari orang tersebut, kalau tidak gila, minimal orang itu mempunyai kelainan jiwa. Dan perlu diketahui, bahwa hukum pidana, di negara manapun di dunia ini, tidak akan melakukan penghukuman/pemidanaan terhadap orang gila. Biasanya ada alasan pemaaf untuk orang yang bersangkutan. Pemanfaatan ijazah palsu biasanya dilakukan setelah memperoleh moment yang tepat, atau secara sengaja menciptakan moment, dan ketika moment itu sedemikian rupa dirasakan telah kondusif, barulah ijazah palsu itu dimanfaatkan. Sehingga, secara modus operandi, terdapat dua alternatif yang mungkin akan ditempuh. Pertama, menunggu keteledoran/kealpaan petugas, dan kedua, “memaksa” petugas yang bertanggung jawab untuk meneliti keabsahan ijazah itu agar berpura-pura teledor/alpa.

Ada banyak cara yang mungkin akan ditempuh oleh si empunya ijazah palsu untuk membuat dan merekayasa moment supaya petugas itu berpura-pura teledor, sehingga lolos dari sensor petugas peneliti/pemeriksa tentang keabsahan ijazah, satu diantaranya adalah lewat cara KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Dari deskripsi uraian di atas, penulis mencoba melakukan analisa terhadap dua orang pejabat di Jawa Tengah ini yang diduga berijazah palsu, seperti yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Satu orang memangku jabatan Bupati dan satunya lagi adalah wakil Bupati, yang kemudian menjadi Plt Bupati karena Bupati nya sendiri tengah tersandung kasus korupsi, mereka adalah Bupati Brebes dan Wakil Bupati Semarang.
Ini artinya adalah, bahwa kedua-duanya merupakan pejabat publik. Sebagai pejabat publik, tentu saja publik (baca: masyarakat) mempunyai hak untuk bertanya dan mempertanyakan eksistensi kebenaran dari dugaan yang sudah terlanjur terpublikasikan secara luas oleh media massa. Benarkah kedua pejabat publik itu berijazah palsu ? Bagaimana seharusnya menyikapi hal tersebut jika kasus yang sama terjadi pada masa mendatang ?
Ketika issu pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh kedua pejabat tersebut semakin gencar dipublikasikan oleh media massa, beragam pendapatpun ikut berkembang dalam kehidupan masyarakat. Ada yang bersikap masa bodoh alias cuek, ada yang pro issu, bahkan ada yang kontra issu.

Bagi kelompok yang kontra issu tentu saja melakukan pembelaan terhadap posisi pejabat publik tersebut. Di alam demokrasi tentu saja sikap-sikap yang demikian sebagai suatu sikap yang absah, sepanjang tidak dipengaruhi oleh argumen-argumen yang menyesatkan atau, ini yang lebih berbahaya, dipengaruhi oleh materi (suap menyuap). Sepanjang hal itu merupakan pengejawantahan dari sebuah sikap idealisme, karena perbedaan pandangan dan pemahaman tentu harus dihormati. Persoalannya sekarang adalah, siapa dan pihak mana yang harus menengahi terhadap dua sikap yang ekstrim yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari munculnya dugaan kasus pemalsuan ijazah ini ? Jawabannya adalah polisi. Masalah ijazah palsu bukan merupakan masalah politik, melainkan murni masalah hukum pidana. Polisi dalam hal ini merupakan ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan. Secara legalitas, memang tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang yang diduga berijazah palsu harus lengser dari jabatannya.

Hanya saja secara etika dan moralitas, memang sebaiknya setiap pejabat publik yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana seharusnyalah mengundurkan diri, minimal dinonaktifkan sementara waktu.

Analisa Kasus
Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap itu nantinya (sampai tulisan ini diturunkan, peradilan tentang hal ini tidak ada kejelasan secara yuridis), penulis mencoba mengkonstruksikan kemungkinan lembaga DPRD juga dapat diseret ke depan pengadilan, karena kelalaian dan keteledoran mengakibatkan seseorang yang berijazah palsu dapat menduduki jabatan publik. Karena kewenangan DPRD-lah seseorang dapat medduduki jabatan Bupati. Para anggota DPRD-lah yang memilih seseorang untuk dapat menduduki jabatan. Sehingga kesalahan (sengaja maupun alpa) dalam melakukan pemilihan, tentu DPRD juga ikut bertanggung jawab, entah itu karena teledor dalam proses pemeriksaan persyaratan maupun hal lain yang cukup prinsipil. Tapi adakah konstruksi hukum untuk dapat melibatkan lembaga DPRD sebagai tersangka ?

Logikanya adalah, bahwa yang dikatakan kesalahan itu ada dua bentuk yaitu kesengajaan dan kealpaan. Sehingga orang yang dihukum itu pasti orang yang telah terbukti kesalahannya baik itu sengaja atau alpa. Masalah berapa lama/besar hukuman yang akan dijatuhkan, tergantung pada bentuk kesalahannya. Semakin besar kesalahannya, akan semakin beratlah hukuman yang akan dijatuhkan. Suatu kejahatan yang dilakukan secara sengaja tentulah hukumannya akan lain dengan orang yang melakukan kejahatan karena kealpaan. Satu hal yang jelas adalah, bahwa baik dilakukan secara sengaja atau kealpaan, keduanya tetap merupakan perbuatan pidana/kejahatan.

Menabrak orang lain di jalan raya, jelas perbuatan itu adalah suatu kealpaan, dan hukum pidana tetap menghukum pelakunya. Alangkah tidak adilnya, jika lembaga DPRD yang, katakanlah karena kealpaannya sehingga orang yang berijazah palsu lolos menduduki jabatan publik, tidak ada sanksi apapun untuk lembaga DPRD tersebut. Suatu ketidakadilan yang luar bisa sedang terjadi. Mengapa penbarak yang alpa mendapat hukuman, sementara lembaga DPRD yang juga alpa tidak dihukum ?

Perangkat Hukum Membantu Kejahatan ?
Jika polisi tidak menggubris dan justru membiarkan terhadap dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilakukan oleh kedua pejabat publik tersebut, maka ini sama saja artinya bahwa polisi ikut membantu terjadinya kejahatan pemalsuan ijazah, atau minimal membiarkan kejahatan pemalsuan ijazah itu berlangsung terus.

Perlu diingat, bahwa masalah tindak pidana pemalsuan ini bukanlah merupakan delik aduan. Artinya tanpa pengaduan atau laporan, jika polisi mengetahuinya, maka ia dapat langsung melakukan tindakan represif, jika tidak melakukan tindakan, sementara ia mengetahui dugaan terjadinya delik, maka polisi dapat dipersalahkan, kalau tidak membantu, minimal melindungi kejahatan. Sedangkan sebaliknya pada delik aduan, polisi tidak boleh bertindak represif sekalipun kejahatan itu terjadi di depan matanya sendiri (kecuali melakukan upaya preventif).
Persoalannya adalah, bagaimana jika polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan tetap membiarkan dan tidak melakukan tindakan represif apapun terhadap pelaku pemalsuan ijazah tersebut ? Menurut hemat penulis, tak satupun ada lembaga yang bisa memaksa agar polisi melakukan pengusutan.
Sementara itu, dalam konteks kedua kasus diatas, polisi telah “bekerja” sebagaimana kewenangannya. Namun demikian, bukan berarti sudah selesai, karena dalam perjalanan selanjutnyamasih melewati tahapan hokum hingga bermuara di pengadilan.
Pengadilan sebagai satu-satunya lembaga paling terhormat, dalam beberapa kasus membuat publik menjadi miris untuk menyebut lembaga tersebut terhormat. Sebutsajabeberapa kalomat miring seperti mafia peradilan, suap hakim, suappanitera,dsb, dsb… Haltersebut tentu saja menjadikan public berspekulasi saat memikirkannya. “Adakah kasus tersebut ‘sepi’ karena kalimat diatas?...”
Disinilah perlunya kontrol masyarakat, entah itu oleh mahasiswa ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk kalangan wartawan. Kalaupun ini tidak mempan juga, barangkali kita perlu berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, karena hanya DIA lah Pemilik Keadilan Sejati….
Fordep_Edisi_354_1-14 Agustus 2008

Sabtu, 02 Agustus 2008

Dugaan Ijazah Palsu Bupati Brebes Kembali Dipertanyakan


Kasus ijazah palsu kepala daerah dan wakil kepala daerah akhir-akhir ini, mungkin bisa diibaratkan pepatah Buruk Muka Cermin Dibelah. Ibaratkaki tersandung batu akibat kurang hati-hati di jalan, namun yang disalahkan justru keberadaan batunya.
Para pendukung kepala daerah yang terkena kasus ijazah yang diduga palsu, baik perorangan maupun kelompok seolah "mementahkan" syarat administratif kepala daerah yang dibelanya, dengan mengeluarkan komentar "kenapa mempersoalkan selembar kertas pendidikan jika hanya bersifat memenuhi syarat formil?"
Palsu tidaknya sebuah ijazah menjadi tidak penting dan tidak perlu dipersoalkan, selama kepala daerah tersebut dianggap mempunyai kapasitas memimpin dan menjalankan roda pemerintahan di daerah.
Kondisi ini tentunya menimbulkan keresahan masyarakat dan menyebabkan terganggunya kepercayaan publik terhadap penegakkan hukum. Apalagi ketika pembuktian kasus ijazah semakin tak jelas, terkatung-katung dan tak kunjung usai. Seperti halnya kasus dugaan ijazah palsu “S.Sos” bupati Brebes Indra Kusuma. Hingga saat ini belum ada putusan hukum yang tetap. Namun demikian, sampai dengan saat ini gelar “S.Sos” tersebut masih melekat disandangnya...... bersabung……….

Wartawan Senior Senang Diberi “Tumo”, Apa Mereka Sakit Kuning ?


Tumo, adalah mahluk yang menjijikkan. Karena kalimat tersebut dalam bahasa Jawa berarti Kutu yang tinggal di kulit kepala. Lalu apa hubungannya dengan wartawan yang senang diberi Tumo ?
Masih mengenai tumo yang berarti kutu pada kulit kepala. Konon, ada yang meyakini bahwa binatang yang membuat kulit kepala gatal tersebut dapat dijadikan ramuan sebagai obat sakit kuning. Sehingga wartawan yang senang diberi tumo, diasumsikan bahwa mereka adalah penderita penyakit kuning…
“Lho…, terus apa iya, ada wartawan yang senang diberi tumo, apalagi mereka berpredikat wartawan senior, wartawan mana?”
Ternyata istilah tumo tersebut hanyalah sebuah tradisi yang dibuat bahasa plesetan… Tumo yang sebenarnya, adalah kepanjangan dari pitu limo, atau tujuh puluh lima ribu.
Dalam setiap 'acara', kegiatan sidang Paripurna ataupun ekspose di DPRD Provinsi Jawa Tengah, pihak Humas memberikan bantuan transport pada wartawan yang bertugas liputan disana dengan nominal 'tumo' tadi.
Padahal, jumlah wartawan yang bertugas khusus di lingkungan DPRD Jateng bisa mencapai seratus orang. Menurut Christin staf humas DPRD, peserta yang mengikuti peliputan hanya para senior yang terdiri dari wartawan cetak (Harian, Mingguan, Bulanan, dan bulan-bulanan ?), elektronik (TV, Radio, dan Situs), dan kegiatan seperti itu, tiap bulannya berlangsung beberapa kali.
Dengan demikian, dana yang terserap untuk pemberian transport pada wartawan tersebut dalam satu tahun APBD bisa mencapai ratusan juta…
“Wah, kalau dihitung satu tahun lumayan banyak juga, ya ? bisa untuk bikin sumur artethis di daerah kekeringan, atau untuk pencegahan banjir karena rob bagi beberapa RT...”.
Lalu transport untuk wartawan yang notabene adalah “pihak ketiga” tersebut apa memang ada anggarannya dalam APBD ?
Menurut Rani Ratnaningsih SH, Kasubag Humas dan Publikasi Sekretariat DPRD Jateng, anggaran transport untuk pihak ketiga memang tidak diperbolehkan, untuk itu pihaknya melakukan “penyiasatan” anggaran guna keperluan tersebut.
“Karena dalam disiplin anggaran tidak membolehkan pemberian transport bagi pihak ketiga, maka kami memasukan dalam laporan bantuan. Hal tersebut kami maksudkan sebagai tali asih kemitraan pada rekan-rekan wartawan yang bertugas disini” Ungkapnya.
Ditengarai, predikat wartawan senior yang dijadikan acuan oleh humas DPRD masih rancu dan hanya berasaskan kedekatan. Sehingga ada kalanya menimbulkan kecemburuan dan kesalah pahaman, seperti yang dialami oleh wartawan dari sebuah tabloid.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa wartawan yang ada, diantaranya adalah wartawan “CNN” (bahasa Sunda : Can Nulis Nulis = Tidak Pernah Nulis) alias wartawan Muntaber = Muncul Tanpa Berita, meskipun dirinya punya press card dan medianya eksis, namun keberadaan medianya hanya dijadikan sebagai alat provokasi, agar dirinya mendapatkan perhatian tersendiri dari sebuah instansi. Disamping itu, masih ada juga 'wartawan' yang sudah tidak jelas eksistensi medianya, namun oleh humas masih dikategorikan sebagai 'wartawan senior'.
Oleh karenanya, pihak humas diharapkan dapat memulai pembenahan lagi 'system kemitraan' yang ada. Jangan sampai timbul kesan dan akibat negative. Baik terhadap kecemburuan sesama wartawan, ataupun pengistilahan wartawan senior itu sendiri.
Wartawan senior yang sesungguhnya, mereka tidak akan mau mengantri ambil jatah tumo. Bahkan media massa yang telah mapan, secara tegas melarang wartawan senior ataupun juniornya, untuk ambil jatah sejenis tumo dimaksud…
Dari segi fungsi, Humas DPRD Jateng juga kurang terlihat produktifitasnya. Kegiatannya dari waktu ke waktu hanya koordinasi, lalu kemudian memberi ‘jatah’ tumo... Sedangkan produk khas yang seharusnya dimiliki Humas adalah adanya ‘press release’, ataupun notulen kegiatan. Hal tersebut diperlukan bagi wartawan yang tidak sempat hadir, dan tidak bermaksud cari tumo, tapi cari bahan untuk pemberitaan...
Demikian halnya dengan disiplin anggaran. Bila sudah berani mensiasati laporan keuangan, bukan tidak mungkin akan timbul kecurigaan, bahwa laporan keuangan yang lainnya juga ada yang disiasati. Kalau anggaran untuk “tumo” tersebut tidak ada dalam APBD, lalu ‘dicomotkan’ dari pos anggaran mana ? Seperti halnya sebuah teori tentang kebohongan. “Seseorang akan berbohong guna menutupi kebohongan lainnya. Demikian seterusnya, dia akan terus berbohong dan berbohong…”
***Bagus_BS_watawan “ecek-ecek” tapi sudah gak suka makan tumo....

SMP Gunung Jati Tanjung Priok Jakut Diduga Manipulasi Data Murid Untuk Peroleh Dana BOS

Dunia pendidikan nampaknya semakin carut marut, pihak sekolah semakin berani melakukan berbagai macam aksi tak terpuji, dari jualan buku, menarik pungli saat Penerimaan Peserta Didik (PPD), sampai-sampai mengelabui pemerintah untuk mendapatkan dana bantuan.
Seperti halnya yang yang terjadi pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Gunung Jati Tanjung Priok Jakarta belakangan ini. Sekolah swasta tersebut ditengarai telah melakukan aksi Manipulasi Data Murid untuk mendapatkan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) secara ekstra.
Seperti diketahui, dana bantuan BOS diberikan oleh pemerintah pada seluruh sekolah dari tingkat dasar hingga lanjutan pertama berdasarkan jumlah murid. Hal inilah yang membuat otak kotor dari kepala sekolah untuk mendapatkan penghasilan ekstra melalui data jumlah murid yang telah direkayasa jumlahnya.
Seperti halnya yang ditemukan dalam penelusuran Tim Investigasi wartawan Fordep, yang menemukan beberapa kejanggalan pada SMP Gunung Jati Tanjung Priok Jakarta Utara. Dari hasil pengamatan di lapangan, SMP Gunung Jati saat melakukan rehabilitasi sekolah dari Dana Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2007, pekerjaannya dilaksanakan dengan tambal sulam, diantaranya asbes atap sekolah yang dalam proposalnya harus diganti, pelaksanaannya hanya dicat supaya terlihat baru. Demikian halnya dengan kerangka kayu, hanya dilaburi cat mani, supaya terlihat baru.
Sementara untuk program bantuan BOS, BOMM, dan BSS, pihak sekolah melakukan manipulasi data siswa. Hal tersebut diketahui, dari penelusuran nama-nama murid banyak yang fiktif, baik nama maupun alamat. Dari beberapa penelusuran, alamat murid yng dicantumkan oleh pihak sekolah, ada yang merupakan alamat tempat ibadah, atau bahkan alamat sama sekali tidak dapat dijumpai.
Demikian halnya dari konfirmasi pada beberapa murid siswa sekolah tersebut, mereka menyatakan tidak pernah merasakan adanya bantuan dari pemerintah dalam bentuk apapun.
Menanggapi adanya temuan tersebut, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Komite Pemantau Transparansi dan Akuntabilitas Sekolah (LSM KOMPTRAS) Sholikhul Huda S.Pd, menyatakan keprihatinannya. Menurutnya, bila benar ada kejadian seperti itu, maka tindakan tersebut tidak dapat ditolelir, dan harus diproses secara hukum. Untuk itu pihaknya akan melakukan investigasi secara seksama.
“Memprihatinkan, apa iya ada pendidik yang berperilaku seperti itu ? Kalau memang benar adanya, kita akan segera bentuk tim untuk menelusuri hal tersebut” katanya.
***Tim Fordep

Jumat, 01 Agustus 2008

Lurah Rejosari Selingkuhi Warganya ?

Semarang, FordepPotret seorang pamong harus bisa mengayomi dan melayani warganya, tidak malah sebaliknya hanya bisa melayani tetapi di dalam hotel. Hal ini tentu tidak sepatutnya terjadi pada seorang pamong, karena telah memberikan contoh yang tidak benar kepada warganya.Kejadian terjadi pada lurah Rejosari Kec Semarang Timur yang di duga berbuat mesum dengan warganya, kejadiannya ini terungkap saat warga bernama YT di panggil Camat Semarang Timur Endar Winarto, yang mendapatkan SMS dari orang tak di kenal mengatakan bahwa Lurah Rejosari UT melakukan perselingkuhan dengan RN, tetapi saat UT di pertemukan dengan YT justru UT mengelak dan terkesan menyudutkan RN dengan alasan, yang sering mengejar-ngejar adalah YT sendiri, padahal dari pengakuan YT, dirinya pernah hamil 2 bulan akibat hubungan gelapnya dengan UT.Kemudian akhirnya janin tersebut tidak bertahan lama, karena keguguran. Akibat kejadian tersebut, YT harus menjalani pengobatan. Atas permintaan UT, YT diharapkan bisa menanggulangi biaya pengobatannnya sendiri dan kelak akan diganti, yang saat itu habis Rp2 juta lebih.Tetapi setelah sekian lama YT menungu, UT mengingkari janji untuk mengganti biaya pengobatan yang telah dijanjikannya. Alasan UT menolak penggantian bea pengobatan tersebut, menurut YT, karena Lurah Rejosari tersebut tidak punya uang.“Kalau UT tidak mau bertanggung jawab terhadap biaya yang telah saya keluarkan, maka saya juga tidak akan segan-segan membeberkan masalah ini pada siapapun” terang YT dengan nada kesal.
UT, ketika akan dikonfirmasi di kantornya 31/07 beberapa kali tidak ada di tempat.***dra

Mobdin Baru Nyakitin Rakyat


Rencana pemberian mobil dinas senilai 1,1 M kepada Gubernur terpilih H Bibit Waluyo terus menuai kecaman dari berbagai kalangan.Pengadaan mobil mewah yang diisyaratkan sebagai ''bebungah''untuk Gubernur terpilih dinilai Aldo Sekretaris LSM SUARA ANAK BANGSA telah menyakiti hati rakyat miskin yang sedang terseok-seok akibat dampak kenaikan BBM .Di saat rakyat kecil sedang menjerit karena beratnya menanggung beban hidup para pejabat Pemprov dan kalangan DPRD Jateng justru menyayatkan sembilu di hati rakyat dengan melakukan pengadaan fasilitas mewah untuk Gubernur, Ketua DPRD dan beberapa kepala dinas berupa mobil dinas.Padahal kondisi mobil dinas yang sekarang dipergunakan masih cukup baik.Menurut Aldo,mereka ( para pejabat dan wakil rakyat ) betul-betul tidak punya perasaan dan kepedulian sosial atau mati nuraninya karena tidak memikirkan sama sekali nasib rakyatnya.Eksekutif yang mengajukan rencana pengadaan tersebut dan anggota DPRD yang telah meloloskan anggaran tersebut secara berjamaah dan terang-terangan melukai perasaan rakyat miskin di Jawa Tengah.Semestinya anggaran tersebut dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang sedang dihadapi Pemprov seperti tingginya angka kemiskinan,pengangguran dan putus sekolah di wilayah ini jelas Aldo.Apalagi kinerja Gubernur juga belum kelihatan,belum-belum kok mau diberi penghargaan.Kalau perlu mereka ( Gubernur,para pejabat dan anggota DPRD ) berbaur dengan masyarakat dengan naik angkot saja biar bisa merasakan susahnya jadi rakyat kecil.Aktivis yang sehari-hari mangkal di gedung Berlian ini mengancam akan melakukan demo besar-besaran jika mobil-mobil mewah tersebut jadi dibeli. ( yo-yok)_Fordep_1-15_Agustus