Pejabat Berijazah Palsu
(Menyoal Kembali Keabsahan Ijazah Bupati Brebes dan Wabub Semarang)
Seseorang yang mempunyai ijazah palsu kalau tidak digunakan tentulah tidak akan ketahuan masalah kepalsuannya. Persoalan baru muncul manakala ijazah itu digunakan atau dipakai, misalnya untuk melamar suatu pekerjaan atau menduduki suatu jabatan publik. Ijazah yang tidak digunakan, hanya disimpan saja di dalam almari misalnya, perbuatan itu tetap saja merupakan perbuatan pidana (kejahatan), akan tetapi sulit dijangkau oleh hukum negara (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP). Satu-satunya hukum yang dapat menjangkau hanyalah hukum agama.
(Menyoal Kembali Keabsahan Ijazah Bupati Brebes dan Wabub Semarang)
Seseorang yang mempunyai ijazah palsu kalau tidak digunakan tentulah tidak akan ketahuan masalah kepalsuannya. Persoalan baru muncul manakala ijazah itu digunakan atau dipakai, misalnya untuk melamar suatu pekerjaan atau menduduki suatu jabatan publik. Ijazah yang tidak digunakan, hanya disimpan saja di dalam almari misalnya, perbuatan itu tetap saja merupakan perbuatan pidana (kejahatan), akan tetapi sulit dijangkau oleh hukum negara (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP). Satu-satunya hukum yang dapat menjangkau hanyalah hukum agama.
Alangkah naifnya, bilamana ada seseorang yang memalsukan ijazah hanya untuk disimpan sebagai koleksi. jika hal ini terjadi, maka perlu dipertanyakan keadaan psikis dari orang tersebut, kalau tidak gila, minimal orang itu mempunyai kelainan jiwa. Dan perlu diketahui, bahwa hukum pidana, di negara manapun di dunia ini, tidak akan melakukan penghukuman/pemidanaan terhadap orang gila. Biasanya ada alasan pemaaf untuk orang yang bersangkutan. Pemanfaatan ijazah palsu biasanya dilakukan setelah memperoleh moment yang tepat, atau secara sengaja menciptakan moment, dan ketika moment itu sedemikian rupa dirasakan telah kondusif, barulah ijazah palsu itu dimanfaatkan. Sehingga, secara modus operandi, terdapat dua alternatif yang mungkin akan ditempuh. Pertama, menunggu keteledoran/kealpaan petugas, dan kedua, “memaksa” petugas yang bertanggung jawab untuk meneliti keabsahan ijazah itu agar berpura-pura teledor/alpa.
Ada banyak cara yang mungkin akan ditempuh oleh si empunya ijazah palsu untuk membuat dan merekayasa moment supaya petugas itu berpura-pura teledor, sehingga lolos dari sensor petugas peneliti/pemeriksa tentang keabsahan ijazah, satu diantaranya adalah lewat cara KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Dari deskripsi uraian di atas, penulis mencoba melakukan analisa terhadap dua orang pejabat di Jawa Tengah ini yang diduga berijazah palsu, seperti yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Satu orang memangku jabatan Bupati dan satunya lagi adalah wakil Bupati, yang kemudian menjadi Plt Bupati karena Bupati nya sendiri tengah tersandung kasus korupsi, mereka adalah Bupati Brebes dan Wakil Bupati Semarang.
Ini artinya adalah, bahwa kedua-duanya merupakan pejabat publik. Sebagai pejabat publik, tentu saja publik (baca: masyarakat) mempunyai hak untuk bertanya dan mempertanyakan eksistensi kebenaran dari dugaan yang sudah terlanjur terpublikasikan secara luas oleh media massa. Benarkah kedua pejabat publik itu berijazah palsu ? Bagaimana seharusnya menyikapi hal tersebut jika kasus yang sama terjadi pada masa mendatang ?
Ketika issu pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh kedua pejabat tersebut semakin gencar dipublikasikan oleh media massa, beragam pendapatpun ikut berkembang dalam kehidupan masyarakat. Ada yang bersikap masa bodoh alias cuek, ada yang pro issu, bahkan ada yang kontra issu.
Ini artinya adalah, bahwa kedua-duanya merupakan pejabat publik. Sebagai pejabat publik, tentu saja publik (baca: masyarakat) mempunyai hak untuk bertanya dan mempertanyakan eksistensi kebenaran dari dugaan yang sudah terlanjur terpublikasikan secara luas oleh media massa. Benarkah kedua pejabat publik itu berijazah palsu ? Bagaimana seharusnya menyikapi hal tersebut jika kasus yang sama terjadi pada masa mendatang ?
Ketika issu pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh kedua pejabat tersebut semakin gencar dipublikasikan oleh media massa, beragam pendapatpun ikut berkembang dalam kehidupan masyarakat. Ada yang bersikap masa bodoh alias cuek, ada yang pro issu, bahkan ada yang kontra issu.
Bagi kelompok yang kontra issu tentu saja melakukan pembelaan terhadap posisi pejabat publik tersebut. Di alam demokrasi tentu saja sikap-sikap yang demikian sebagai suatu sikap yang absah, sepanjang tidak dipengaruhi oleh argumen-argumen yang menyesatkan atau, ini yang lebih berbahaya, dipengaruhi oleh materi (suap menyuap). Sepanjang hal itu merupakan pengejawantahan dari sebuah sikap idealisme, karena perbedaan pandangan dan pemahaman tentu harus dihormati. Persoalannya sekarang adalah, siapa dan pihak mana yang harus menengahi terhadap dua sikap yang ekstrim yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari munculnya dugaan kasus pemalsuan ijazah ini ? Jawabannya adalah polisi. Masalah ijazah palsu bukan merupakan masalah politik, melainkan murni masalah hukum pidana. Polisi dalam hal ini merupakan ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan. Secara legalitas, memang tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang yang diduga berijazah palsu harus lengser dari jabatannya.
Hanya saja secara etika dan moralitas, memang sebaiknya setiap pejabat publik yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana seharusnyalah mengundurkan diri, minimal dinonaktifkan sementara waktu.
Analisa Kasus
Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap itu nantinya (sampai tulisan ini diturunkan, peradilan tentang hal ini tidak ada kejelasan secara yuridis), penulis mencoba mengkonstruksikan kemungkinan lembaga DPRD juga dapat diseret ke depan pengadilan, karena kelalaian dan keteledoran mengakibatkan seseorang yang berijazah palsu dapat menduduki jabatan publik. Karena kewenangan DPRD-lah seseorang dapat medduduki jabatan Bupati. Para anggota DPRD-lah yang memilih seseorang untuk dapat menduduki jabatan. Sehingga kesalahan (sengaja maupun alpa) dalam melakukan pemilihan, tentu DPRD juga ikut bertanggung jawab, entah itu karena teledor dalam proses pemeriksaan persyaratan maupun hal lain yang cukup prinsipil. Tapi adakah konstruksi hukum untuk dapat melibatkan lembaga DPRD sebagai tersangka ?
Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap itu nantinya (sampai tulisan ini diturunkan, peradilan tentang hal ini tidak ada kejelasan secara yuridis), penulis mencoba mengkonstruksikan kemungkinan lembaga DPRD juga dapat diseret ke depan pengadilan, karena kelalaian dan keteledoran mengakibatkan seseorang yang berijazah palsu dapat menduduki jabatan publik. Karena kewenangan DPRD-lah seseorang dapat medduduki jabatan Bupati. Para anggota DPRD-lah yang memilih seseorang untuk dapat menduduki jabatan. Sehingga kesalahan (sengaja maupun alpa) dalam melakukan pemilihan, tentu DPRD juga ikut bertanggung jawab, entah itu karena teledor dalam proses pemeriksaan persyaratan maupun hal lain yang cukup prinsipil. Tapi adakah konstruksi hukum untuk dapat melibatkan lembaga DPRD sebagai tersangka ?
Logikanya adalah, bahwa yang dikatakan kesalahan itu ada dua bentuk yaitu kesengajaan dan kealpaan. Sehingga orang yang dihukum itu pasti orang yang telah terbukti kesalahannya baik itu sengaja atau alpa. Masalah berapa lama/besar hukuman yang akan dijatuhkan, tergantung pada bentuk kesalahannya. Semakin besar kesalahannya, akan semakin beratlah hukuman yang akan dijatuhkan. Suatu kejahatan yang dilakukan secara sengaja tentulah hukumannya akan lain dengan orang yang melakukan kejahatan karena kealpaan. Satu hal yang jelas adalah, bahwa baik dilakukan secara sengaja atau kealpaan, keduanya tetap merupakan perbuatan pidana/kejahatan.
Menabrak orang lain di jalan raya, jelas perbuatan itu adalah suatu kealpaan, dan hukum pidana tetap menghukum pelakunya. Alangkah tidak adilnya, jika lembaga DPRD yang, katakanlah karena kealpaannya sehingga orang yang berijazah palsu lolos menduduki jabatan publik, tidak ada sanksi apapun untuk lembaga DPRD tersebut. Suatu ketidakadilan yang luar bisa sedang terjadi. Mengapa penbarak yang alpa mendapat hukuman, sementara lembaga DPRD yang juga alpa tidak dihukum ?
Perangkat Hukum Membantu Kejahatan ?
Jika polisi tidak menggubris dan justru membiarkan terhadap dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilakukan oleh kedua pejabat publik tersebut, maka ini sama saja artinya bahwa polisi ikut membantu terjadinya kejahatan pemalsuan ijazah, atau minimal membiarkan kejahatan pemalsuan ijazah itu berlangsung terus.
Jika polisi tidak menggubris dan justru membiarkan terhadap dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilakukan oleh kedua pejabat publik tersebut, maka ini sama saja artinya bahwa polisi ikut membantu terjadinya kejahatan pemalsuan ijazah, atau minimal membiarkan kejahatan pemalsuan ijazah itu berlangsung terus.
Perlu diingat, bahwa masalah tindak pidana pemalsuan ini bukanlah merupakan delik aduan. Artinya tanpa pengaduan atau laporan, jika polisi mengetahuinya, maka ia dapat langsung melakukan tindakan represif, jika tidak melakukan tindakan, sementara ia mengetahui dugaan terjadinya delik, maka polisi dapat dipersalahkan, kalau tidak membantu, minimal melindungi kejahatan. Sedangkan sebaliknya pada delik aduan, polisi tidak boleh bertindak represif sekalipun kejahatan itu terjadi di depan matanya sendiri (kecuali melakukan upaya preventif).
Persoalannya adalah, bagaimana jika polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan tetap membiarkan dan tidak melakukan tindakan represif apapun terhadap pelaku pemalsuan ijazah tersebut ? Menurut hemat penulis, tak satupun ada lembaga yang bisa memaksa agar polisi melakukan pengusutan.
Sementara itu, dalam konteks kedua kasus diatas, polisi telah “bekerja” sebagaimana kewenangannya. Namun demikian, bukan berarti sudah selesai, karena dalam perjalanan selanjutnyamasih melewati tahapan hokum hingga bermuara di pengadilan.
Pengadilan sebagai satu-satunya lembaga paling terhormat, dalam beberapa kasus membuat publik menjadi miris untuk menyebut lembaga tersebut terhormat. Sebutsajabeberapa kalomat miring seperti mafia peradilan, suap hakim, suappanitera,dsb, dsb… Haltersebut tentu saja menjadikan public berspekulasi saat memikirkannya. “Adakah kasus tersebut ‘sepi’ karena kalimat diatas?...”
Pengadilan sebagai satu-satunya lembaga paling terhormat, dalam beberapa kasus membuat publik menjadi miris untuk menyebut lembaga tersebut terhormat. Sebutsajabeberapa kalomat miring seperti mafia peradilan, suap hakim, suappanitera,dsb, dsb… Haltersebut tentu saja menjadikan public berspekulasi saat memikirkannya. “Adakah kasus tersebut ‘sepi’ karena kalimat diatas?...”
Disinilah perlunya kontrol masyarakat, entah itu oleh mahasiswa ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk kalangan wartawan. Kalaupun ini tidak mempan juga, barangkali kita perlu berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, karena hanya DIA lah Pemilik Keadilan Sejati….
Fordep_Edisi_354_1-14 Agustus 2008
Fordep_Edisi_354_1-14 Agustus 2008
1 komentar:
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675
Posting Komentar